Cerita Rakyat


BASSE SANGTEMPE, SEUNTAI SEJARAH DALAM PERSPEKTIF WIJA TO OGI.
M.IDRIS (15 02 02 0129)

Memaknai sejarah, adalah sebagaimana kita sedang memanah. Semakin kencang kita menarik anak panah dari busurnya, maka semakin jauh pula anak panah kita akan melesat”.
Dalam hal ini, perlu ditekankan bahwa, penulis bukanlah seorang sejarawan. Namun, cinta akan sejarah adalah hak segala Bangsa—kata senior tadi. Maka berbicara ihwal cinta, hematku, cinta yang baik adalah cinta yang pernah “diragukan”. Tidak a priori adanya. Pengkaji atau pencinta sejarah harus cermat dalam hal pemosisian segala halnya.

Karena dalam realitanya, kerap kali mereka campur adukkan orisinalitas atau otentisitas suatu fenomena silam, dalam alam realitas dengan heroisme masa kini, yang acapkali bertalian dengan identitas peneliti atau pengkaji tersebut. Bahkan lebih parahnya adalah, kadangkala praktik politisasi sejarah, tak hanya sekali dua terjadi.

Hal yang demikian, sudah barang tentu akan mencemari orisinalitas sejarah. Pertanyaan yang mencuat ialah, sejarah yang bagaimana yang harus kita yakini kebenarannya? Tentu, untuk mencoba membaca realitas sejarah, kita butuh perangkat bantu dan/atau juga pihak lain. Lalu, sesiapa yang validitas sejarahnya yang tak perlu diragukan?.

Kedua pertanyaan yang mendasar tersebut, tentu akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sejarah, apapun itu kita tidak sedang dan tidak akan berada pada lingkarannya lagi, walau itu sedetik yang lalu.

Namun, untuk mengaminkan realitasnya, tentu penelitian ilmiah akannya mutlak dilakukan dengan melalui berbagai pendekatan serta petunjuk yang bahkan bisa jadi harus kita ambil dari pihak terkait langsung. Tentunya borkompeten dengan hal tersebut.


Kembali ke argumentasi pembuka paling atas, bila dimaknai petikan argumentasi itu akan memotifasi kita. Karena, seseorang yang dengan komprehensif mengkaji suatu realitas sejarah masa lampau pada saat ini, maka untuk melangkahkan kaki di hari esok, ia akan lebih bijak dan adil.

Adil dalam hal ini ialah, menempatkan sesuatu, sesuai tempatnya serta sadar proporsi sesuatu itu sendiri. Terlepas daripada itu, ada begitu banyak “sejarah” yang harus kita kaji bersama. Bukankah Bung Karno pernah mengatakan, JAS MERAH, jangan sekali-kali engkau melupakan sejarah…!!!


Basse Sangtempe, sebuah wilayah pegunungan yang berada pada bagian selatan jazirah Sulawesi. Adapun tentang penghuni, dihuni oleh etnis Luwu. Karena memang, Basse Sangtempe ini tergabung dalam teritorial Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Dalam berbagai literatur yang sempat penulis cicipi, penulis dapat menyimpulkan bahwa, aura kesejarahan Basse Sangtempe sangat memikat dan penuh teka-teki.

Terpicu, dengan rasa penasaran mendera, penulis pada beberapa waktu meluangkan waktu untuk mengeja Sejarah BASTEM ini melalui perbincangan dengan para warga asli BASTEM sembari searching via internet. Lalu, disinilah kisah BASTEM dan INVASI BUGIS-MAKASSAR itu bermula.


Dalam salah satu literatur kuno, yaitu “Leviathan” karya Thomas Hobbes, menyatakan bahwa manusia itu memiliki kecenderungan untuk memangsa manusia lainnya yang terlihat lebih lemah dibanding dengannya, sama seperti serigala.

Hal yang demikian ini pulalah yang barangkali terpentaskan dalam opera sejarah masa awal Basse Sangtempe. Mengapa demikian? Karena pada masa itu, Karaeng Dongi (Bugis-Makassar) — beserta rombongannya yang — melalui beberapa jalur hingga sampailah mereka di salah satu daerah di BASTEM dan mendirikan pondok.

Katongngo, daerah yang menjadi daerah Karaeng Dongi dan rombongan tiba ini telah berpenduduk dan berbudaya. Pun, dengan beberapa daerah lain sekitarnya. Olehnya, prosesi penyesuaian harus dilakukan jika ingin rukun.

Namun menurut penuturan cerita ini oleh berbagai pihak, termasuk warga BASTEM pada umumnya menyatakan bahwa, para pendatang tadi (Karaeng Dongi) adalah orang-orang yang sangat rakus nan licik. Mereka datang untuk ‘’berkuasa’’ pada daerah yang telah berpenghuni dan berbudaya.

Taktik serta strategi busuk diterapkan oleh Karaeng Dongi untuk berkuasa. Pada mulanya, mereka tak lantas untuk melakukan perang fisik, tapi dengan melukai jati diri warga setempat. Tentu tidak semua, tapi dengan memilah salah seorang atau beberapa dari mereka yang paling ditokohkan masyarakat. Yang dalam hal ini adalah tokoh adat setempat, yaitu Pegandaan yang menjadi incaran proyek licik ini.

Adapun proyek licik yang dimaksud adalah, suatu waktu ketika tanaman padi dan jagung milik pegandaan yang telah masuk pada tahap panen, Karaeng Dongi beserta rombongan dengan sengaja membabat semak-semak sekitar kebun milik Pegandaan untuk selanjutnya dibakar. Kebakaran haibat, itulah yang terjadi pada lahan kebun beserta isi milik Pegandaan. Tentu hal ini menjadi luka mendalam bagi warga asli setempat.

Lebih lanjut, Karaeng Dongi yang telah membakar lahan dan mengakuisisi sebagai lahannya sendiri tersebut menanaminya dengan tanaman serupa sebelumnya milik Pegandaan. Pegandaan serta para korban yang lain kini dalam masa sulit. Pasalnya, gagal panen massal baru saja mereka alami. Olehnya, mereka melepaskan ayam-ayam ternak mereka untuk mencari makan sendiri, karena persediaan pakan pun menipis.

Kelicikan berlanjut. Karaeng Dongi beserta rombongan menangkapi ayam-ayam tersebut dan memutilasi bagian tertentu unggas, lalu kemudian dilepas kembali. Hal inilah yang memicu perang antara warga pendatang (rombongan Karaeng Dongi) dengan warga asli setempat. Perang ini sendiri berakhir dengan kekalahan warga setempat yang saat itu dipimpin oleh Pegandaan.

Dengan kekalahan berat yang diderita, Pegandaan beserta rombongan pun membawa diri ke Sa’dan; daerah yang kini dikenal dengan nama Toraja. Tahun-tahun pelik dijalani, mereka harus kembali membangun di daerah barunya. Sementara di seberang sana, para pendatang menginvasi tanah kelahirannya sendiri. Bulan bersulam, tahun pun beralu. Timbullah hasrat mereka untuk kembali ke tanah kelahiran mereka.

Taktik strategi tentu dibahas lebih dahulu. Singkat cerita, rombongan Pegandaan beserta pasukan dari menantunya yang berbasis di daerah Noling, pada akhirnya bisa memenangkan pertempuran sengit dengan musuh bebuyutnya, yaitu Karaeng Dongi serta keturunannya yang telah sedikit banyak berkontribusi membangun peradaban baru di tanah kelahiran mereka.


Menurut beberapa sumber, sebelum invasi Karaeng Dongi di Basse Sangtempe ini, belum ada sistem tata negara yang diterapkan. Datanglah Karaeng Dongi dengan sistem tata negara yang canggih pada zamannya yang nantinya diadopsi oleh para generasi pelanjut di Basse Sangtempe.

Berdasarkan salah satu sumber yang menyatakan bahwa, pasukan Pegandaan dan menantunya (Langkai) yang bertempur habis-habisan, bisa memojokkan pasukan Karaeng Dongi hingga mengurungnya di sebuah gua pada suatu daerah perbukitan yang berdampingan langsung dengan mata air yang melimpah.

Tak sampai disitu saja — setelah mengurung Karaeng Dongi beserta keluarga dan pasukannya — sumber mata air itu mereka boikot dan membiarkan satu persatu pasukan Karaeng Dongi mati kehausan. Ketika ada yang keluar, ujung tombak menyapa dada. Tragis. Terkurung bersama malaikat maut.

Maka, di saat itulah, muncul sebuah istilah ‘’mappesa’dingko to buta, ma’petiroko to taru’’. Istilah tersebut bermakna, yang buta disuruh berjaga-jaga dengan pendengarannya, yang tuli disuruh berjaga-jaga dengan mata penglihatannya.

Sungguh suatu keterpojokan dan ketersiksaan yang teramat. Dalam situasi tersebut, Karaeng Dongi besumpah serapah. Bahwa, ia dan rombongan pantang pulang serta pantang mundur, dan suatu saat nanti ia akan bangkit dan kembali berjaya.


Seusai perang yang dimenangkan oleh Pegandaan serta menantunya ini, maka Pegandaan pun mendirikan rumah pertama atau Batu Ariri yang bertempat di Ma’buntu Batunna, sebuah daerah yang sangat tinggi sehingga diberi nama Buntu Batu.

Karaeng Dongi, namanya hampir tak diketahui oleh pemuda BASTEM saat ini. Ia terbilang cukup berjasa dalam tatanan kehidupan masyarakat BASTEM yang olehnya, diperkenalkan sistem ketatanegaraan, yang pada masa sebelumnya belum demikian.

Terlepas dari hal itu, ia tetap dinilai licik dan meninggalkan dosa sejarah dengan apa yang telah dilakukannya. Namun bila ingin kita kaji tentang asal muasal kedatangannya menginvasi daerah lain, barangkali akan kita temui pertaliannya dengan kolonialisme eropa ataukah kolonialisme sesama “kerajaan kuno” seantero sulawesi yang bisa jadi masa itu terjadi; ataukah, ada sebab lain (?)

Karena pada beberapa catatan sejarah mengatakan bahwa, suatu daerah berpenghuni yang didatangi tamu dan mengagresi wilayah tersebut, maka penduduk asli itu akan berhadapan dengan tiga pilihan: membaur, melawan, dan menghindar mencari daerah lain. Barangkali pilihan ketiga ini yang terjadi pada Karaeng Dongi, pun Pegandaan.


Demikian, cerita singkat yang bagi penulis pribadi, sarat akan makna. Tentu t(b)ergantung sudut pandang kita melihat hal ini. Bagi penulis pribadi yang notabenenya adalah keturunan Bugis Wajo, yang sempat menjalani prosesi Penelitian dan Pengabdian (PPL TERINTEGRASI KKN) di daerah tersebut (BASTEM). Ada beberapa kejadian yang cukup membekas diingatan.

Salah satunya yang dimaksud, adalah respon masyarakat yang variatif saat mengetahui asal-usul daerah kelahiran penulis. Mengapa demikian? barangkali hal ini bertalian dengan kisah yang telah saya paparkan tadi, tentang invasi Bugis-Makassar masa silam. Serta berbagai kemungkinan lainnya.


Berangkat dari hal ini pulalah, penulisan ini bermula. Tentang bagaimana perbedaan suku, ras, golongan, dan agama yang kerapkali membelenggu kita satu sama lain. Tentang sejarah yang kadang dikaji dengan tidak kohesif dan koherensif, serta kompetensi penyampai yang kadang masih bisa dipertanyakan.

Tentu, ini bukan argumen yang menandakan ketidakpercayaan total penulis pada sumber informasi tentang kisah atau sejarah masa silam tadi. Ini bisa sebagai warning kepada para pemenggal sejarah, sekaligus warning kepada para pengkaji sejarah. Termasuk kepada saya sendiri, untuk tidak latah dalam memandang suatu perkara seksi seperti SARA ini.

Bukankah perbedaan itu memang sunnatullah. Menolaknya, berarti telah menodai hak cipta Tuhan. Termasuk sejarah, kadang ditemukan perbedaan dalam memahaminya. Tergantung sumber dan kepentingan dari subjek nya.

Sebuah adagium yang pertamakali dilontarkan oleh Winston Churcill menyatakan bahwa: sejarah adalah milik pemenang (history has been written by the victors). Senada dengan itu, Dan Brown mengatakan bahwa: sejarah hanya ditulis oleh para pemenang (History is always written by the winners). Olehnya, pendekatan dari berbagai sisi, perlu direalisasikan.

Berbeda-beda tapi tetap satu jua, itulah Indonesia dengan semboyannya, BHINNEKA TUNGGAL IKA. Olehnya, kita sebagai pilar nusantara perlu mendobrak budaya latah perbedaan yang kadang membelenggu ini. Sebagai penutup, saya mengutip salah satu petikan kata-kata dari salah seorang sahabat saya, yang menyatakan :

“…..Kita punya budaya untuk takut akan perbedaan. Kita tidak suka orang lain menjadi berbeda. Kita mau semua orang mejadi sama dan mengatakan apa yang kita inginkan. Seolah kita hidup pada masyarakat homogen. Dimana semua orang suka dikelompokkan menjadi satu”. (Muh. Satrio Natsir).


Wallaahul muwaafieq ilaa aqwaamit thorieq…


Idrisefendy.

Palopo, January 28th, 2019.

My other blog:

idrisfendy.wordpress.com

Posting Komentar

0 Komentar