Hari 4 "Kande Tollok"

"Jika tradisi dan budaya dirusak, maka agama akan menjadi kering, keras, dan kehilangan nilai estetik serta tidak manusiawi. Jika sudah demikian, agama akan semakin jauh dari realitas sosial. Bila demikian, agama hanya bisa diamalkan oleh malaikat". (Gus Sastrow).

Dalam hal mengupas secara mendalam pertautan atau relasi antara agama dan budaya, selaku penulis saya belum memadai secara kompetensi. Namun begitu tertarik untuk mencoba memaparkan praktik budaya dan kearifan lokal serta keagamaan yang secara langsung sempat saya beserta sahabat-sahabat posko 2 saksikan di hari keempat keberadaan kami di desa Lissaga. 

Sekitar pukul 08.00 WITA, kami melalui Nenek Lia diberitahukan untuk mengisi acara Tauziah untuk penduduk setempat yang telah berpulang ke Rahmatullah di Desa Kanna, sebuah desa yang penduduknya sangat ramah, desa yang bertetanggaan langsung dengan desa Lissaga. Pada hari itu juga, bertepatan dengan adanya rapat di Kantor Kecamatan Basse Sangtempe, yang juga sempat kami hadiri karena pada malam harinya, kami diundang untuk menghadiri, pembahasan tentang bagaimana pengelolaan potensi pariwisata di desa-desa yang memang termasuk dalam rancangan proyek pemerintah setempat untuk dieksplorasi atau diolah untuk kepentingan bersama. Rapat inipun turut dihadiri oleh salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi-Selatan. Rapat berlangsung cukup tertib dan cukp singkat, mengingat acara Tauziah untuk warga desa Kanna yang terjadwal dimulai pada pukul 11.00 WITA. Selepas itu, para peserta rapat bergegas menuju ke lokasi secara bersama-sama.

Untuk pertamakalinya, kami merasakan nuansa kebersamaan masyarakat yang kemungkinan turut serta dihadiri oleh hampir seluruh masyarakat se-kecamatan BASTEM. Mereka berbondong-bondong datang pada acara Tauziah dan penguburan sanak keluarga mereka yang telah wafat pada malam harinya. Sebuah indikasi bahwa Ikatan sosial masyarakat masih sangat kuat dan membudaya. sangat kontras dengan apa yang biasa kita saksikan di kota-kota. Hal yang semacam ini menurut hemat penulis perlu untuk tetap dilestarikan. Patut untuk menjadi bahan refleksi bagi masyarakat perkotaan untuk tetap menjalin hubungan silaturrahim sebagaimana yang tetap terealisasikan di Basse Sangtempe ini. 

Perjumpaan pertama kami dengan tokoh pemangku adat atau biasa diistilahkan oleh penduduk setempat sebagai "Parengngek" untuk pertamakali terjadi pada saat itu. Beliau secara bergantian dengan tokoh agama yang dalam hal ini adalah Kepala Urusan Agama beserta tokoh masyarakat yang lain menyampaikan wejangan-wejangan kepada seluruh masyarakat yang hadir. Sungguh kagum, itulah yang penulis rasakan akan hal ini. Bagaimana masyarakat tetap mampu menjalin relasi sosial bersama. Padahal dibeberapa daerah terjadi prahara antara agama dan budaya, namun tidak demikian dengan apa yang kami saksikan pada waktu itu. 

Namun hal yang sedikit perlu untuk kita renungkan bersama, bahwa si mayyit yang "kelamaan menunggu" untuk dimakamkan, itu kurang baik pada persepsi keagamaan. Begitulah yang sempat terjadi kala itu. Hal itu menurut pengakuan salah seorang keluarga si mayyit masih menunggu datangnya sanak keluarga yang lain sehingga prosesi penguburan dipending hingga sore hari kala itu. Hal yang demikian juga kerap kita jumpai di daerah lainnya. Budaya yang seperti ini perlu untuk kita renungkan kembali bersama.

Selepas wejangan-wejangan oleh beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama serta yang lainnya, bersama masyarakat yang hadir, kami disuguhkan dengan makanan lokal yang terbilang cukup istimewa. "Kande Tollok", itulah yang masyarakat sebut. Daging kerbau yang diracik dengan bumbu seadanya kami santap bersama dengan agak lahap. Selepas santap hidangan, saya beserta sahabat-sahabat posko lain yang sempat "ambil panggung" pada acara waktu itu mohon pamit duluan, mengingat ada rangkaian agenda lain, dalam hal ini program kerja posko (PKP) yang perlu untuk kami laksanakan, salah satunya Pembinaan anak-anak TPA. 

Sebagaimana dua hari sebelumnya, pada sore hari atau tepatnya selepas shalat ashar berjamaah di Masjid, kami pun laksanakan Pembinaan TPA untuk ngaji bersama di Masjid. Dengan perlahan, shalat berjamaah yang sebelumnya hanya dihadiri oleh dua atau tiga orang sahaja, bertambah dengan hadirnya adek-adek TPA yang begitu bersemangat untuk mengaji dan belajar bersama hingga masuk waktu shalat maghrib. Biasanya selepas shalat maghrib, sebahagian dari mereka ada yang pulang. Utamanya mereka yang masih 11 tahun kebawah atau mereka yang rumahnya terbilang jauh dari masjid. Bagi yang masih tinggal menunggu waktu shalat isya' berjamaah, acapkali kita bincang-bincang biasa dengan adek-adek TPA, remaja-remaja, dan orang-orang tua kami disana; atau jika memungkinkan kita lanjut untuk ngaji dengan adek-adek tadi. Selepas shalat isya', kami kembali ke Posko, pun dengan mereka. Sesampai kami di Posko, sebelum lanjut untuk briefing kami MABAR (makan bareng) dulu. Hal yang sebagaimana hari-hari sebelumnya juga kami lakukan sebelum menuju tempat istirahat masing-masing.


Posting Komentar

0 Komentar