Hari 3 "tentang tanya"

"disini ku berdiskusi dengan alam yang lirih, kenapa matahari terbit menghangatkan bumi ?".

demikian sedikit penggalan salah satu lirik lagu Eross yang berjudulkan Cahaya Bulan ( Ost. GIE ) yang menurut pandangan subyektifitas saya, menyanyikan lebih banyak daripada rangkaian kata-kata semata. Secara implisit menggambarkan bagaimana seorang yang sedang diselimuti berbagai tanya serta menghendaki datangnya makna akan tanya itu sendiri. 

Tanpa harus bertedeng aling-aling lebih jauh, saya harus berendah hati menyatakan bahwa, bergerombol pikiran liar menginvasi ruang kontemplasi ku saat hendak ingin kumulai "catatan sang pilar project" pada hari ketiga di Basse Sangtempe ini. Bagaimana tidak, suasana sejuk bersahaja pegunungan yang begitu subur, keindahan alam yang beramah tamah sejauh mata memandang, serta kekeluargaan yang begitu melekat pada "hampir tiap" lapisan masyarakat. Namun nyatanya "jauh panggang dari api", yang dalam artian bahwa berbagai potensi yang ada tersebut belum digarap sebagaimana mestinya.

Hamparan tanah subur yang telah dihadiahkan Tuhan untuk digunakan oleh masyarakat dalam upaya memperbaiki taraf kehidupannya pun, masih sangat minim akan pengolaan, padahal sudah barang tentu bila dimaksimalkan akan sangat membantu masyarakat setempat untuk mencapai kesejahteraan. Potensi pariwisata pun sekiranya bila diolah dengan baik, maka akan sangat membantu memajukan roda perekonomian masyarakat Basse Sangtempe pada khususnya dan masyarakat Luwu pada umumnya. Apatahlagi kesemuanya ditunjang dengan kearifan lokal para warganya, walaupun secara perlahan telah tergerus oleh budaya yang sebelumnya belum terbudayakan. 

Teruntuk poin pertama, bila kita ingin memandang persoalan ini secara jujur dan terbuka, maka akan menghantarkan kita pada titik dilematis. Mengapa demikian ?, karena ada juga yang telah cukup maju dengan persawahan sistem kepundan yang menurut beberapa ahli merupakan sistem persawahan terbaik. Pun demikian dengan poin selanjutnya berupa perkebunan kopi komoditas "asli" Bastem yang berlokasikan di beberapa titik lokasi. Terlebih lagi dengan tanaman kakao yang acapkali dilirik oleh mata dan menemani kita dalam sepanjang perjalanan. 

Namun dari beberapa poin diatas, akan sedikit berbeda ketika kita mencoba menggali lebih dalam untuk pahami duduk perkaranya. Tanaman padi khas yang menghasilkan "Barra' Rarang" ini, akan kita temukan beberapa kelemahan jika kita membenturkannya dengan kajian strategi land reform. Pun demikian dengan tanaman kakao dan kopi. Dalam kajian land reform, ada beberapa step penataan yang harus disinergikan dalam upaya mencapai kesejahteraan para petani. Ketiga hal tersebut ialah tata kuasa, tata kelola, dan tata produksi.

Terkait tata kuasa sendiri, saya rasa mayoritas petani cukup sadar akan kepemilikan tanah atau lahan. tak lain yang mendasari argumentasi saya tersebut berdasarkan bincang-bincang dengan beberapa warga setempat, salah satunya adalah pak Andarias G. yang memiliki hak akan beberapa petak sawah warisan dari mertuanya. Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam lagi, maka kepemilikannya itu masih pada de facto nya saja, boleh jadi belum untuk de jure nya, karena memang beliau belum memiliki sertifikat yang sebagai legalitas formal. Pak Andarias saja yang mengaku sebagai mantan aktivis di era nya belum bisa tembus untuk hal seperti tadi, apalagi para petani yang memang belum tertarik memahami yang demikian. Tapi kata Pramoedya anantha toer, "berlaku adil lah sejak masih di alam pikiran". Dalam artian bahwa, boleh jadi telah ada petani yang mempunyai hal yang demikian tadi. Namun sepanjang telusuran yang baru berumur dua harian ini masih nihil untuk menghantarkan kami mengatasi rasa penasaran akannya. Olehnya, menjadi penting untuk massifikasi sosialisasi ke masyarakat sekitar sini terkait sertifikat tanah yang bisa membantu meredam berbagai problema yang mengancam bila tidak demikian. yah, sebuah langkah preventif.

Untuk tata kelola sendiri saya rasa para petani telah cukup merdeka dalam rangka menentukan, mengelola, dan menuai apa yang mereka tanam. Namun yang menjadi suatu permasalahan tersendiri ialah pada ranah tata produksi. Masyarakat juga harus merdeka dalam upaya memproduksi dan mendistribusikan hasil tanahnya serta mendapatkan income setara dengan apa yang telah dilalui. Pak Jufri, yang menjabat sebagai kepala desa Lissaga mengatakan bahwa masyarakat di beberapa desa yang berada pada kecamatan Bastem ini, termasuk Desa Buntubatu, To'long, Tabi, Sinaji, dan lainnya menjadi sentra atau komoditi kopi yang sangat nikmat bagi para pecandu kopi. 


Namun mirisnya, kopi yang bersentrakan Bastem ini untuk pemasarannya sendiri kurang begitu baik. Karena akses jalan untuk pengangkutannya sangat tidak memadai untuk didistribusikan ke wilayah yang bisa membuatnya laku dengan harga wajar. Beberapa memang akan dibawa ke Tanah Toraja (TATOR), namun efeknya sendiri memudarkan nama Bastem yang bisa menghasilkan kopi yang tak kalah nikmat dengan kopi toraja. Keprestisiusan kopi Bastem menjadi tersubordinasi secara perlahan dan berkelanjutan bila pihak terkait abai untuk tangani hal yang demikian. Ini bukan upaya untuk membangun garis demarkasi antara Bastem dan Toraja dalam dunia perkopian. Tapi untuk mengokohkan kekhasan masing-masing dalam rangka menguatkan satu sama lain.

Terkhusus pada wilayah kepariwisataan, saya pribadi menilai bahwa pengelolaan pariwisata di Bastem ini tertinggal satu setengah dekade oleh tetangga, Toraja. Potensi alam perlu digunakan sebagaimana mestinya yang juga harus didasari dengan perbaikan infrastruktur setempat, dan juga harus masif dari segi sosialisasi nya. Bila telah terbangun sinergitas antara seluruh lapisan masyarakat dan instansi pemerintahan, serta pengelolaan maksimal potensi alam, maka akan mengantarkan kita semua pada kebaikan bersama.

Pada akhirnya, terka dan tanya yang silih berganti masih akan terus menghampiri bagi orang yang mau berpikir.

Posting Komentar

0 Komentar