Hari 5 "To'long, 15 menit, dan persepsi"

Sebagaimana hari-hari sebelumnya di pagi hari selepas melaksanakan rangkaian kegiatan rutin, baik itu ritual dan kegiatan pribadi atau bersama, kami duduk-duduk di teras rumah menemani Bapak Jufri yang menyempatkan diri pagi hari itu untuk diskusi mengenai beberapa hal yang sudah barang tentu bertalian erat dengan maksud dan tujuan dari prosesi kegiatan PPL TERINTEGRASI ini. Sambil ngopi tentunya.

Desa Lissaga, sebuah desa yang menjadi pusat dari seluruh desa di kecamatan Basse Sangtempe atau dengan kata lain, Lissaga adalah ibukota kecamatan. Desa ini sendiri berdasarkan bincang-bincang dengan Bapak Jufri selaku kepala desa, terbagi dalam empat dusun. Dusun-dusun yang dimaksud adalah Beuma, Rarukan, Lissaga, dan Tiruan. Dari diskusi ini pulalah kami diberitahukan mengenai rumah masing-masing kepala dusun.Ini untuk mempermudah kami dalam hal kunjungan ke kepala dusun terkait dalam rangka optimalisasi observasi di daerah setempat.

Berdasarkan hasil briefing pada malam harinya, saya bersama salah seorang sahabat posko, diamanatkan atau di PJ (pertanggungjawaban) untuk menuju rumah masing-masing kepala dusun. Adapun sahabat-sahabat posko yang lain tetap melaksanakan PJ masing-masing atau yang dalam hal ini ialah prosesi Pembelajaran (PPL) di sekolah.

Berangkat sekitar pukul 07.10 WITA, dengan kendaraan roda dua kami menuju rumah kepala dusun Tiruan dan kepala dusun Lissaga melalui Jalan To' Langngang dengan agak santai. Bukan lain yang menyebabkan hal yang demikian ialah, selain kami masih belum akrab dengan medan jalan yang demikian, kami juga belum terlalu paham dengan lokasi rumah kepala-kepala dusun yang dituju. Hal lain yang juga mempengaruhi ialah, terus terang kami menikmati eksotis nya pemandangan dibeberapa titik dalam perjalanan ini. Daerah persawahan yang telah menghijau, pohon-pohon cengkeh yang sedang memasuki musim panen, serta keindahan alam yang ditawarkan sepanjang perjalanan ini. Sesampai dirumah kepala dusun Lissaga yang berdekatan dengan Masjid, kami menunggu untuk beberapa saat, untuk menunggu pak kepala dusun datang. Namun nasib berkata lain, kami melalui salah satu warga diinformasikan bahwa yang dituju sementara tidak berada ditempat. Maka kami memutuskan untuk menuju kerumah pak dusun Tiruan.

Perjalanan berlanjut, namun ada sedikit hal yang mengganjal dihati. Tak lain ialah, dua kakak beradik yang semestinya duduk dibangku sekolah dasar namun mereka bertarung melawan maut untuk menggembalakan kerbau-kerbau mereka didaerah yang cukup ekstrim menurut persepsi kami. Kami berinisiatif untuk mampir bincang-bincang dengan mereka. Namun yang terjadi ialah kami tak terlalu paham dengan bahasa mereka (lokal) dan mereka belum bisa untuk menuturkan bahasa nasional mereka sendiri, bahasa indonesia. Namun sekilas kami bisa simpulkan bahwa alasan mereka tak ikut sekolah ialah biaya sekolah, bisa jadi yang dimaksud untuk seragam, buku, pulpen, dan peralatan yang lain. Untuk menggali lebih dalam kami tidak lanjutkan, karena sepertinya mereka "agar takut" untuk berdiskusi dengan orang asing bagi mereka, yang dalam hal ini adalah kami sendiri. Hal ini mengantarkan kami pada simpulan bahwa mereka memiliki intensitas yang sangat jarang untuk berinteraksi dengan yang selain mereka temui biasanya. Olehnya, kami pun bergegas menuju yang kami target sebelumnya.

Sesampai dirumah pak dusun Tiruan, kami disambut dengan baik oleh beliau sekeluarga. Diskusi ringan mengenai beberapa hal, salah satunya ialah jumlah KK yang ada yaitu 11 KK terdaftar, keaktifan masyarakat untuk gotong royong yang dinilai masih kurang, dan masalah pendidikan bagi anak-anak yang memiliki kendala klasik seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Tak begitu alot diskusi kami, karena beliau ingin menjemput anaknya yang duduk dibangku sekolah dasar kelas 3. Olehnya kamipun mohon pamit. Disini pulalah kami diberitahukan bahwasanya ada jalan pintas menuju posko yang bisa kami lalui nantinya bila telah hendak kembali. Menurut pak dusun Tiruan, jalur pintas ini sangat dekat ketimbang jalur yang sebelumnya kami tempuh. "Lewat sini hanya 15 menit perjalanan dek" kata beliau. Kamipun sangat gembira mendengar informasi dari beliau. Namun kami berinisiatif untuk sementara melanjutkan perjalanan ke desa tetangga, desa To'long.

Start sekitar pukul 09.30 dari rumah pak dusun, kami menuju rumah pak desa To'long. Dengan niatan untuk jalin silaturahim dengan desa tetangga agar bila nantinya ada hal yang perlu untuk dikoordinasikan bisa lebih mudah. Tak kalah eksotis dari perjalanan sebelumnya, pemandangan alam yang begitu "wah" kami nikmati. Cukup lama untuk kami bisa sampai ditempat tujuan. Selain akses jalan, petunjuk atau rambu-rambu nama jalan bahkan batas desa sendiri belum maksimal. Kondisi serupa juga demikian di desa Lissaga, namun di Lissaga sendiri untuk batas-batas desanya telah ada, tinggal perlu dipermak sedikit. Sesampai ditempat tujuan, kondisi serupa dengan di rumah pak dusun Lissaga. Orang yang dituju tak berada di tempat. Olehnya, kami pun hendak pulang ke posko. Tentunya lewat jalur pintas yang katanya bisa ditempuh hanya dalam waktu 15 menit.

Bukan main, jalur pintas yang katanya hanya 15 menit perjalanan ini begitu ekstrim menurut persepsi kami. Teringat dengan ucapan salah seorang senior sekaligus sahabat saya, bahwa persepsi atau sudut pandang itu terbentuk berdasarkan wacana atau saluran informasi yang dikonsumsi oleh seseorang secara berkala. Artinya, terbiasanya masyarakat setempat yang lewati jalur tersebut, sehingga jalan yang "keterlaluan" curam nya lambat laun menjadi "biasa-biasa" saja dalam persepsi mereka tentunya. Beda dengan kami yang sangat asing dengan jalan yang demikian. Namun kiranya kami senantiasa "kenalan" dengan jalan itu, tidak menutup kemungkinan juga kami akan mempersepsikan nya "biasa-biasa" saja. Terlepas dari hal itu, kami tetap bersyukur bisa dapatkan berbagai pengalaman yang menantang hari itu.

Sesampai di Posko, kami rehat sejenak sebelum melanjutkan ke aktifitas selanjutnya.




Posting Komentar

0 Komentar