Hari 16 "Sepotong Bambu (edisi baper)".


“Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan ? kau terpelajar, minke, Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pemikiran, apalagi dalam perbuatan”.
Demikian petikan dari novel karangan sang maestro pena Indonesia, Pram dalam tetralogi buruhnya pada seri “Bumi Manusia” halaman 77 tentang pandangan umum suatu masyarakat terhadap sesuatu perkara ataupun hal lain. Betapa cukup sering kita menjumpai suatu pandangan umum menjerat nalar seseorang untuk lebih memahami hal yang sebenarnya. Perlu keadilan dalam segala hal, terutama dalam pemikiran sendiri. Apatahlagi itu dalam perbuatan atau ejawantah dari pemikiran itu sendiri.

Pada catatan kali ini, penulis ingin sedikit curhat tentang ‘’keadilan berpikir’’, tentunya berangkat dari apa yang penulis rasakan pada hari kelimabelas ini. Berdasarkan pandangan umum masyarakat pedesaan (termasuk pandangan penulis, kadang-kadang), bahwa para mahasiswa yang ‘’katanya’’ terpelajar yang datang dari kota adalah orang-orang yang ahli dibidangnya sendiri, tetapi tidak mengerti sama sekali pada wilayah ataupun atau pekerjaan yang butuh tenaga ekstra, seperti mengangkat bambu, membuat rangka bangunan, dll. Disinilah semua (baper-ku) bermula.

Pukul 08.15 WITA, saya yang sebenarnya memiliki jadwal untuk mengajar di SMP kelas VII B pada jam tersebut, menyempatkan diri ikut serta dalam kegiatan masyarakat untuk persiapan resepsi pernikahan salah satu warga setempat beberapa hari kemudian dan tidak masuk ke kelas. ‘’jadwal ini bisa diganti dihari berikutnya’’, pikirku. Bersama beberapa warga, kami menembus hutan untuk mengambil bambu untuk pembuatan ‘’Lawa Suji’’, suatu anyaman bambu khas yang memang kerap dijumpai dibeberapa daerah se-sulawesi selatan pada saat pesta pernikahan.

Tak memakan waktu lama, prosesi penebangan telah usai. Tibalah waktu untuk pengangkutan secara tradisonal, diangkut dengan memikul. Silih berganti mereka mengambil bagian untuk memikul beberapa batang bambu tersebut, ada yang sampai tiga bahkan empat batang. Kini tiba giliranku, kupersiapkan diri untuk memikul tiga batang juga, namun apa yang terjadi ?, mereka mendehem dan bertatap mata sambil tersenyum. Salah satu dari mereka menegur, ‘’jangan banyak, kamu tidak akan kuat, cukup aku aja’’ (red. makna sama dengan gaya dilan). Terang saja, saya sedikit tersipu malu pada mereka, namun terutama kepada diri saya sendiri. Salah satu dari mereka bahkan mengatakan bahwa saya sedang menjalani proses latihan militer tingkat dasar. Apa boleh buat, saya hanya mengangkat sebatang bambu untuk diangkut ke lokasi tujuan.

Bukan untuk meremehkan atau bahkan menyombongkan diri, tetapi sebagai anak seorang petani, hal yang berupa memikul bambu tersebut adalah hal yang biasa saja, bahkan yang lebih dari itu pernah penulis alami. ‘’Adillah dalam berpikir’’, kata-kata mbah Pram terus bergelayutan dipikiranku. Sekiranya ku tempatkan diri seutuhnya pada hari itu sebagai seorang petani tulen, maka ketersinggungan tentu menghinggapi, boleh jadi hal lainnya turut terjadi. Tapi sekiranya tetap kutempatkan diri sebagai apa yang mereka pikirkan, maka barangkali harmonisasi hubungan tetap terjalin, dan memang demikian pada hari itu. Kemungkinan terkuat adalah mereka hanya merasa kasihan terhadap apa yang mereka saksikan dan merasa telah merepotkan saya yang mencoba membantu mereka, atau bisa jadi ada hal lain yang belum terpikir olehku. Yah, semua ini hanya berupa terkaan belaka dalam upaya pendewasaan dalam menggunakan pikiran seadil-adilnya.


Cukup sering kita jumpai anggapan masyarakat tentang kasus serupa, bagaimana kiranya mahasiswa yang datang dari perkotaan yang enggan untuk bergaul dengan kehidupan pedesaan. Tentu berbagai hal menjadi adanya realita tersebut. Salah satunya bahwa mereka memang bukan berasal dari golongan petani, atau bisa jadi mereka ada gen petani namun merasa sangat telah terpelajar sehingga enggan untuk bergaul dengan kehidupan petani, serta berbagai macam dasar atau alasan yang lain tentunya. Teringat pesan salah seorang bapak bangsa, Tan Malaka. Bahwa kiranya suatu pendidikan dapat menyebabkan pemuda merasa malu untuk bergaul dengan para petani, maka lebih baik pendidikan itu tidak usah diberikan lagi. Olehnya, bukan hanya seorang terpelajar, semua elemen masyarakat pun harus adil menggunakan pikrannya.

Pasca selesainya pembuatan ‘’lawa suji’’, panggilan makan siang pun terdengar. Bersama para warga yang datang hari itu, kami makan dengan makanan yang terbilang mewah bagi kami penghuni posko, opor ayam. Selepas makan, bincang-bincang pun berlanjut dengan ribuan tema. Hingga terdengar panggilan shalat dzuhur menggema. Kami pun bergegas kembali kle posko untuk bersih-bersih sebelum shalat dan kembali ke rutinitas sebagaimana hari-hari sebelumnya.  

Posting Komentar

0 Komentar