“Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan ? kau terpelajar, minke, Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pemikiran, apalagi dalam perbuatan”.
Demikian
petikan dari novel karangan sang maestro pena Indonesia, Pram dalam tetralogi
buruhnya pada seri “Bumi Manusia” halaman 77 tentang pandangan umum suatu
masyarakat terhadap sesuatu perkara ataupun hal lain. Betapa cukup sering kita
menjumpai suatu pandangan umum menjerat nalar seseorang untuk lebih memahami
hal yang sebenarnya. Perlu keadilan dalam segala hal, terutama dalam pemikiran
sendiri. Apatahlagi itu dalam perbuatan atau ejawantah dari pemikiran itu
sendiri.
Pada
catatan kali ini, penulis ingin sedikit curhat tentang ‘’keadilan berpikir’’,
tentunya berangkat dari apa yang penulis rasakan pada hari kelimabelas ini.
Berdasarkan pandangan umum masyarakat pedesaan (termasuk pandangan penulis,
kadang-kadang), bahwa para mahasiswa yang ‘’katanya’’ terpelajar yang datang
dari kota adalah orang-orang yang ahli dibidangnya sendiri, tetapi tidak mengerti
sama sekali pada wilayah ataupun atau pekerjaan yang butuh tenaga ekstra,
seperti mengangkat bambu, membuat rangka bangunan, dll. Disinilah semua
(baper-ku) bermula.
Pukul
08.15 WITA, saya yang sebenarnya memiliki jadwal untuk mengajar di SMP kelas
VII B pada jam tersebut, menyempatkan diri ikut serta dalam kegiatan masyarakat
untuk persiapan resepsi pernikahan salah satu warga setempat beberapa hari
kemudian dan tidak masuk ke kelas. ‘’jadwal ini bisa diganti dihari
berikutnya’’, pikirku. Bersama beberapa warga, kami menembus hutan untuk
mengambil bambu untuk pembuatan ‘’Lawa Suji’’, suatu anyaman bambu khas yang
memang kerap dijumpai dibeberapa daerah se-sulawesi selatan pada saat pesta
pernikahan.
Tak
memakan waktu lama, prosesi penebangan telah usai. Tibalah waktu untuk
pengangkutan secara tradisonal, diangkut dengan memikul. Silih berganti mereka
mengambil bagian untuk memikul beberapa batang bambu tersebut, ada yang sampai
tiga bahkan empat batang. Kini tiba giliranku, kupersiapkan diri untuk memikul
tiga batang juga, namun apa yang terjadi ?, mereka mendehem dan bertatap mata
sambil tersenyum. Salah satu dari mereka menegur, ‘’jangan banyak, kamu tidak
akan kuat, cukup aku aja’’ (red. makna sama dengan gaya dilan). Terang saja,
saya sedikit tersipu malu pada mereka, namun terutama kepada diri saya sendiri.
Salah satu dari mereka bahkan mengatakan bahwa saya sedang menjalani proses
latihan militer tingkat dasar. Apa boleh buat, saya hanya mengangkat sebatang
bambu untuk diangkut ke lokasi tujuan.
Bukan
untuk meremehkan atau bahkan menyombongkan diri, tetapi sebagai anak seorang
petani, hal yang berupa memikul bambu tersebut adalah hal yang biasa saja,
bahkan yang lebih dari itu pernah penulis alami. ‘’Adillah dalam berpikir’’,
kata-kata mbah Pram terus bergelayutan dipikiranku. Sekiranya ku tempatkan diri
seutuhnya pada hari itu sebagai seorang petani tulen, maka ketersinggungan
tentu menghinggapi, boleh jadi hal lainnya turut terjadi. Tapi sekiranya tetap
kutempatkan diri sebagai apa yang mereka pikirkan, maka barangkali harmonisasi
hubungan tetap terjalin, dan memang demikian pada hari itu. Kemungkinan terkuat
adalah mereka hanya merasa kasihan terhadap apa yang mereka saksikan dan merasa
telah merepotkan saya yang mencoba membantu mereka, atau bisa jadi ada hal lain
yang belum terpikir olehku. Yah, semua ini hanya berupa terkaan belaka dalam
upaya pendewasaan dalam menggunakan pikiran seadil-adilnya.
Cukup
sering kita jumpai anggapan masyarakat tentang kasus serupa, bagaimana kiranya
mahasiswa yang datang dari perkotaan yang enggan untuk bergaul dengan kehidupan
pedesaan. Tentu berbagai hal menjadi adanya realita tersebut. Salah satunya
bahwa mereka memang bukan berasal dari golongan petani, atau bisa jadi mereka
ada gen petani namun merasa sangat telah terpelajar sehingga enggan untuk
bergaul dengan kehidupan petani, serta berbagai macam dasar atau alasan yang
lain tentunya. Teringat pesan salah seorang bapak bangsa, Tan Malaka. Bahwa
kiranya suatu pendidikan dapat menyebabkan pemuda merasa malu untuk bergaul
dengan para petani, maka lebih baik pendidikan itu tidak usah diberikan lagi.
Olehnya, bukan hanya seorang terpelajar, semua elemen masyarakat pun harus adil
menggunakan pikrannya.
Pasca
selesainya pembuatan ‘’lawa suji’’, panggilan makan siang pun terdengar.
Bersama para warga yang datang hari itu, kami makan dengan makanan yang
terbilang mewah bagi kami penghuni posko, opor ayam. Selepas makan,
bincang-bincang pun berlanjut dengan ribuan tema. Hingga terdengar panggilan
shalat dzuhur menggema. Kami pun bergegas kembali kle posko untuk bersih-bersih
sebelum shalat dan kembali ke rutinitas sebagaimana hari-hari sebelumnya.
0 Komentar